Coretan Bang-Ajik

Selasa, 26 November 2013

Perempuan


Bismillahirrahmaanirrahiim…

Perempuan,
Ada suatu masa dimana kelahiranmu tidak dikehendaki dan hadirmu merupakan aib besar. Belum cukup lama kau menghirup udara dunia, kuburmu sudah disiapkan. Belum selesai tangis pertamamu, lehermu sudah dicekik dan kau dibenamkan ke dalam tanah, bahkan ketika kau masih merah. Sehina itulah dirimu dulu.

Ada suatu masa dimana dirimu tidak berharga. Para bangsawan dan ilmuwan Eropa masa itu memperdebatkan apakah “perempuan” adalah mahluk yang juga memiliki roh. Kau didandani, dihiasi. Dibawa ke pasar, kemudian ditawar. Dijadikan pemuas nafsu untuk kemudian kembali diperjual-belikan. Setelah kau tak lagi tampak menggoda, kau pun dijadikan hamba sahaya.

Ingatkah suatu masa dimana kau tidak lagi tahu siapa ayah bayi yang kau kandung? Cobalah tengok sejarah, seperti itulah dulu dunia memandangmu rendah.

Perempuan,
Kemudian ingatlah ketika Islam datang membebaskanmu. Muhammad mengangkat tinggi derajatmu dan kau kembali bisa menegakkan kepalamu. Islam memuliakanmu.

Ingatlah, ketika Muhammad pulang ke pelukanmu dalam keadaan menggigil. Beliau katakan telah bertemu mahluk perkasa, Jibril. Kemudian dengan lirih beliau berkata, “selimuti aku…”. Dan kau menyelimutinya. Kau belum lagi tahu apa yang telah dialami Muhammad. Kau belum bisa menduga, peristiwa apa yang telah terjadi pada lelaki tegar ini. Tapi kau tidak banyak bertanya, kau hanya menyelimutinya. Kau memeluknya. Dan peristiwa sebesar itupun takluk di tanganmu. Muhammad menemukan kenyamanan dalam pelukmu. Di dalam kelembutan dan kasih sayangmu, Muhammad tertidur. Beliau tahu, bukan kepada pamannya dan bukan pula kepada teman-teman bangsawannya beliau harus mengadu. Muhammad tahu, kepadamu-lah beliau harus pulang mengadu. Sampai sekarang kami mengenangmu dengan nama Khadijah.

Ingatlah, ketika ayahmu, Muhammad, bersujud di depan Ka’bah. Dan sekelompok kafir quraisy menghinanya, menyiksanya. Saat ayahmu bersujud, mereka menginjak punggungnya dan melemparkan setumpuk kotoran ke atas kepalanya. Tidak seorangpun yang membela. Tapi Masya Allah, engkau yang masih begitu belia terbakar amarah. Sambil menangis kau bersihkan tubuh ayahmu, kemudian kau melangkah tegar ke arah mereka, orang-orang yang telah menghina ayahmu itu. Dengan berani kau mencaci mereka seorang diri, membela kehormatan Muhammad, ayahmu, hingga mereka terdiam gentar di hadapan telunjuk seorang gadis kecil. Kami mengenangmu dengan nama Fatimah.

Ingatlah, ketika Muhammad yang begitu sabar, begitu tegar mengemban amanah, kini terbaring tak berdaya di pelukanmu. Tubuh gagahnya itu kini lemah dan hanya bisikan-bisikan saja yang keluar dari bibirnya yang mulia, “umatku…umatku…”. Ia pergi meninggalkan dunia ini di atas pangkuanmu, di dalam pelukmu. Kini kami mengenangmu dengan nama Aisyah.

Ingatlah, ketika sejarah mengenang syahidnya 4 orang bersaudara Mujahidin Muslim. Keempatnya berdiri di garis depan dalam perang, dengan riang gembira menyambut maut menjelang. Dan keempatnya gugur sebagai syuhada dalam perang yang sama. Jarang diantara kami yang mengenal siapa keempat bersaudara ini. Yang kami kenal adalah siapa yang telah melahirkan mereka. Perempuan, kaulah yang telah melahirkan mereka, dari rahimmu yang mulia. Kami memberimu gelar “Ibunda para syuhada” karena kaulah yang telah melepas mereka dengan keikhlasan tiada tara ke medan perang, memberi mereka semangat juang. Kaulah yang mendidik mereka sehingga tumbuhlah kecintaan mereka kepada Allah dan Rasulullah. Sepanjang masa, kami kenang kau sebagai Khansa binti Amr.

Ah perempuan, kami ingin kau ingat yang satu ini. Ketika kau berjihad menegakkan syariat Islam di bumi Indonesia. Mereka mencoba meliberalkanmu! Mereka mencoba mengkafirkanmu! Mereka ingin kau bersama di pihak mereka untuk membuat Indonesia bergaya barat. Tapi kau menolak itu!

Perempuan, perlukah saya ingatkan kau dengan surat-suratmu sendiri, yang kau tujukan buat kaum liberalis yang kau lawan itu? Ini surat-suratmu:
  • Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang” (surat kepada Nyonya Abendanon, 5/03/1902).
  • Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa yang kebarat-baratan” (surat tanggal 10/06/1902).
  • Moga-moga Kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut di sukai” (ditujukan kepada Ny Van Kol, tgl 21 juli 1902).
  • Dan saya menjawab, Tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah” (ditujukan kepada Nyonya Abendanon, 12 Oktober 1902).
  • Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (ditujukan kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).
Perempuan, tahukah kau bahwa saat ini mereka menyebar berita kebohongan tentangmu??? Mereka mengatakan dan mereka mengajarkan ke anak-anak mereka di rumah-rumah, di sekolah-sekolah bahwa KAU ADALAH TOKOH FEMINISME! Mereka mengatakan bahwa KAU ADALAH PEJUANG KESETARAAN GENDER! Dan saat ini banyak diantara kaummu yang percaya kebohongan itu! Padahal kau adalah pejuang syariat Islam! Perlukah saya ingatkan kau dengan surat-suratmu ini:
  • Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka Kristenisasi?! Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya“ (ditujukan kepada Abendanon, 31 Januari 1903).
  • Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dialah yang dapat menyembuhkannya” (Ditujukan kepada Abendanon, 1 Agustus 1903).
  • Ingin benar, saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: hamba Allah (Abdullah)” (ditujukan kepada Nyonya Abendanon, 1 Agustus 1903).
Yang sesungguhnya, kau adalah seorang Mujahidah! Hatimu adalah Al-Qur’an dan kau hendak berjuang agar kaummu mampu MENEMPATKAN DIRI SESUAI SYARIAH ISLAM, bukan MENYAMAKAN KEDUDUKAN dengan kaum lelaki! Masya Allah, Kartini, lihatlah betapa besar kebohongan yang mereka buat tentangmu!

Perempuan,
Lihatlah sekarang. Mengapa kau durhaka? Bukankah Islam yang telah mengangkatmu dari kehinaan? Lalu mengapa kini kau memalingkan muka? Mengapa kau menghinakan dirimu kembali? Mengapa kau perlihatkan dirimu seperti itu? Mana hijabmu???

Kau mengambil panutan dari mereka yang tak pantas. Kemana Khadijah, Fatimah, Aisyah? Mana Khansa, mana ummi Kartini? Sungguh mereka itu lebih pantas kau teladani.

Perempuan,
Kembalikanlah jati dirimu sebagai makhluk mulia. Wanita-wanita kafir sesat itu sungguh bukanlah tandinganmu. Lalu mengapa kau mencontohi mereka? Sadarkah kau bahwa kau lebih mulia daripada mereka? Kau menyanyikan syair-syair mereka, kau mengikuti cara-cara mereka, seolah-olah mereka adalah teladanmu! Sementara tanpa kau sadari, bidadari-bidadari surga berhias dan berdandan untuk menyambut mujahid-mujahid yang mungkin saja saat ini sudah ada di depan matamu!

Kembalilah perempuan, kembalilah mulia. Kenakan hijabmu itu, tundukkan pandanganmu. Berlaku lemah lembutlah. Tinggikan standarmu, hingga tak satupun perempuan dunia menjadi tandinganmu.

Sesungguhnya bidadari surga itu, jika mereka menampakkan sedikit saja cahayanya di langit dunia, maka tertutuplah matahari dan rembulan. Dan sekali lagi, SETIAP HARI para bidadari ini berhias untuk menyambut hari dimana mereka akan dipertemukan dengan mujahid Allah yang mulia. Inilah tandinganmu yang sesungguhnya! Dan kau baru akan bisa membuat mereka cemburu kalau kau kembali mulia seperti Khadijah, Aisyah, Fatimah, Khansa dan Kartini!

Perempuan,
Muliakanlah dirimu, jangan lagi kau hinakan. Bukankah Islam sudah memuliakanmu?

0 komentar:

Posting Komentar